Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu bahwa beliau berkata : Dahulu aku menulis apa saja yang kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena aku ingin menghafalkannya. Orang-orang Quraisy pun melarangku, mereka berkata, “Apakah kamu menulis semua yang kamu dengar sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia dimana beliau berbicara dalam keadaan murka dan ridha?!” Maka aku pun menahan diri dari mencatatnya. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau pun mengisyaratkan dengan jarinya ke mulutnya sembari berkata, “Tulislah! Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari sini selain kebenaran.” Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani (lihat Sahih Sunan Abi Dawud, 2/408)
Hadits yang agung ini memberikan faidah kepada kita pentingnya mencatat ilmu dan pelajaran. Karena dengan mencatat akan lebih menguatkan ingatan dan menjaga dari kerancuan pemahaman akan suatu materi. Oleh sebab itu Sahabat Abdullah bin Amr mencatat apa saja yang beliau dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menghafalkannya. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk terus mencatat.
Hadits ini juga mengandung pelajaran bahwasanya hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dicatat oleh sebagian para sahabat di samping juga dihafalkan oleh para sahabat yang lain. Dari sini kita bisa mengetahui betapa besar perhatian para sahabat atau salafus shalih terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itulah mereka yang meniti jalan para sahabat juga dikenal dengan istilah ash-habul hadits atau ahlul atsar. Imam ash-Shabuni rahimahullah menulis sebuah kitab aqidah dengan judul Aqidah Salaf Ash-habul Hadits. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah menulis sebuah kitab manhaj dengan judul Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar (enam pilar utama ahlus sunnah wal jama’ah).
Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa apa-apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal agama ini semuanya adalah bersumber dari wahyu sehingga tidak akan mungkin melenceng dari kebenaran. Oleh sebab itulah umat Islam wajib membenarkan sabda-sabdanya dan tunduk kepada perintah dan larangannya. Karena ketaatan kepada beliau merupakan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80). Para ulama pun telah sepakat bahwa apabila suatu hadits terbukti sahih maka itulah madzhab/pegangan mereka. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa telah jelas baginya suatu sunnah/hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkannya karena mengikuti pendapat siapa pun.”
Hadits ini juga memberikan faidah bolehnya bersumpah untuk menegaskan sesuatu yang penting dan butuh penegasan, walaupun tidak diminta bersumpah oleh orang lain. Ketika bersumpah hendaknya dengan menyebut nama atau sifat Allah karena bersumpah dengan selain nama/sifat Allah termasuk bentuk syirik dan kekafiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah maka sungguh dia telah berbuat kekafiran atau kesyirikan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan al-Hakim). Yang dimaksud di sini adalah termasuk syirik ashghar, dan ia bisa berubah menjadi syirik akbar apabila pengagungannya telah mencapai derajat ibadah kepada sesuatu selain Allah yang disebut olehnya ketika bersumpah (lihat Kitab at-Tauhid karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 70)
Demikian sedikit catatan faidah yang bisa kami sajikan pada kesempatan ini dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.